Beranda | Artikel
Besarnya Kasih Sayang Allah (Bag. 2): Nikmat Allah Tidak Bisa Terhitung
3 hari lalu

Nikmat yang Allah berikan kepada manusia sangatlah banyak dan tidak terhingga. Betapa banyak yang telah manusia terima, seperti: badan yang sehat, tempat tinggal yang nyaman, pakaian yang menutupi tubuh, makan dan minum yang senantiasa ada, dan ladang yang bisa dimanfaatkan. Itu semua nikmat yang nampak dan masih banyak nikmat yang lainnya. Nikmat yang tidak nampak juga banyak. Seperti: organ-organ tubuh yang masih berfungsi dengan baik dan normal, kesehatan badan, ketenangan hati, dan masih banyak yang lainnya. Nikmat Allah ‘Azza Wajalla sudah terlampau banyak dan sampai-sampai tidak bisa terhitung jumlahnya. Namun, dengan begitu banyaknya nikmat yang telah manusia terima, justru tidak menyadari akan besarnya nikmat yang Allah berikan. Manusia lalai dan tidak menyadari bahwa itu semua adalah salah satu bukti kasih sayang Allah ‘Azza Wajalla kepada manusia. Allah berfirman,

وَمَا بِكُم مِّن نّـِعمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ​ ثُمَّ اِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَاِلَيهِ تَجْئَرُونَ​ۚ‏

Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.[1]

Syekh As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat ini di kitabnya, “Dan apa saja nikmat yang ada padamu (nikmat lahiriah ataupun batiniah), maka dari Allahlah (datangnya), tiada seorang pun yang menyertai Allah di dalamnya.”[2]

Semua nikmat yang manusia dapatkan, semuanya berasal dari Allah ‘Azza Wajalla. Sungguh, apabila manusia diminta untuk menghitung nikmat Allah ‘Azza Wajalla, niscaya tidak akan pernah bisa menghitungnya. Allah menyampaikan di awal-awal surah An-Nahl tentang nikmat, di antaranya: hewan ternak, turunnya air hujan, tumbuhnya tanam-tanaman, bagaimana siang dan malam berganti, adanya laut yang di dalamnya terdapat banyak karunia Allah, adanya gunung-gunung yang Allah jadikan pasak agar bumi tidak bergoncang, dan adanya bintang yang Allah jadikan sebagai penunjuk arah ketika di malam hari. Setelah Allah menyebutkan nikmat-nikmat tersebut, Allah berfirman,

وَاِن تَعُدُّوا نِعمَةَ اللّٰهِ لَا تُحصُوهَاؕ اِنَّ اللّٰهَ لَـغَفُورٌ رَّحِيمٌ‏

Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.[3]

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam kitab tafsirnya, “Allah benar-benar memaafkan kalian. Jika kalian dituntut untuk mensyukuri semua nikmat yang Allah beri, tentu kalian tidak mampu mensyukurinya. Jika kalian diperintahkan untuk mensyukuri seluruh nikmat tersebut, tentu kalian tidak mampu bahkan enggan untuk bersyukur. Jika Allah mau menyiksa, tentu saja bisa dan itu bukan tanda Allah itu berbuat zalim. Akan tetapi, Allah masih mengampuni dan mengasihi kalian. Allah mengampuni kesalahan yang banyak lagi memaafkan bentuk syukur kalian yang sedikit.”[4]

Syekh As-Sa’di rahimahullah juga menjelaskan ayat ini di kitab tafsirnya, “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah” menghitung jumlahnya tanpa disertai rasa syukur, “niscaya kamu akan tidak dapat menentukan jumlahnya” apalagi bila (tergerak) untuk mensyukurinya. Sungguh, nikmat-nikmat-Nya yang lahiriah dan batiniah bagi hamba-hamba-Nya adalah sebanyak jumlah tarikan nafas dan detik-detik waktu dari segala macam kenikmatan, yang diketahui oleh mereka dan yang tidak mereka ketahui, dan keburukan-keburukan yang telah Allah singkirkan dari mereka, maka terlalu banyak bila akan diperhitungkan. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Dia rida dengan rasa syukur kalian yang sedikit, meskipun curahan nikmat-Nya sangat banyak.”[5]

Banyak di antara manusia yang ada di muka bumi ini lalai akan nikmat yang Allah berikan. Banyak yang tidak mensyukuri nikmat Allah ‘Azza Wajalla. Kalaupun manusia bersyukur, niscaya rasa syukurnya pun kurang dan tidak akan sebanding dengan nikmat yang telah Allah berikan. Bahkan, ada di antara manusia yang menggunakan nikmat-nikmat tersebut di atas kemaksiatan yang mereka lakukan. Allah menjelaskan tentang tabiat manusia di dalam Al Qur’an dan berfirman,

وَاِذَاۤ اَنعَمنَا عَلَى الاِنسَانِ اَعرَضَ وَنَاٰ بِجَانِبِه​ وَاِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ كَانَ يَــُوسًا‏

Dan apabila Kami berikan kesenangan pada manusia, niscaya dia berpaling dan menjauhkan diri dengan sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan, niscaya dia berputus asa.”[6]

Allah ‘Azza Wajalla juga berfirman,

وَاِذَاۤ اَنعَمنَا عَلَى الاِنسَانِ اَعرَضَ وَنَاٰ بِجَانِبِه​ وَاِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ فَذُو دُعَاءٍ عَرِيضٍ‏

Dan apabila Kami berikan nikmat kepada manusia, dia berpaling dan menjauhkan diri (dengan sombong) tetapi apabila ditimpa malapetaka, maka dia banyak berdoa.[7]

Dua ayat ini menggambarkan dua sikap manusia ketika mendapatkan nikmat Allah ‘Azza Wajalla. Ketika mendapatkan nikmat, manusia lupa dan lalai seakan-akan seperti ‘kacang lupa kulitnya’. Mereka bersenang-senang dan berhura-hura dengan nikmat tersebut. Manusia lupa kepada yang memberi nikmat, yaitu Allah ‘Azza Wajalla. Namun, ketika Allah cabut nikmat tersebut, kemudian manusia ditimpa musibah, ditimpa kesulitan, ditimpa kekurangan, mereka mengeluh, mereka berputus asa, dan kemudian baru mendekatkan diri kepada Allah, memperbanyak doa dan meminta agar nikmat itu datang kembali. Inilah tabiat manusia yang sebenarnya. Ketika mendapatkan kesulitan dia berdoa dan meminta kepada Allah, namun ketika dikabulkan oleh Allah, mereka melupakan Allah. Bahkan, ada segolongan manusia yang ketika mendapatkan nikmat, mereka menisbatkan nikmat itu kepada selain Allah atau menganggap nikmat tersebut didapat karena kepintaran atau usaha mereka sendiri. Allah berfirman tentang hal ini,

فَإِذَا مَسَّ ٱلإِنسَٰنَ ضُرّ دَعَانَا ثُمَّ إِذَا خَوَّلنَٰهُ نِعمَة مِّنَّا قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلمِ بَل هِيَ فِتنَة وَلَٰكِنَّ أَكثَرَهُم لَا يَعلَمُونَ

Maka, apabila manusia ditimpa bahaya, ia menyeru kami. Kemudian, apabila kami berikan nikmat dari kami kepadanya, ia berkata, ‘Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku.’ Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.[8]

Semoga kita semua terhindar dari sikap sombong sebagaimana yang digambarkan pada ayat terakhir di atas. Sesungguhnya semua nikmat yang selama ini kita peroleh datangnya hanya dari Allah ‘Azza Wajalla. Sikap yang paling utama dan seharusnya dilakukan oleh seorang hamba adalah memperbanyak rasa syukur kepada Allah dan menggunakan semua nikmat tersebut di atas kebaikan dan amal saleh. Semoga Allah menjadikan kita semua menjadi hamba yang pandai mensyukuri nikmat-Nya.

***

Diselesaikan di Jember, 17 Jumadilakhir 1446 H

Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan


Artikel asli: https://muslim.or.id/102074-besarnya-kasih-sayang-allah-bag-2-nikmat-allah-tidak-bisa-terhitung.html